Dalam berbagai media massa, Koran maupun televisi, atau dalam kehidupan kita, kita seringkali membaca dan mendengar serta menyaksikan berbagai kejadian yang memilukan hati kita, di samping berita bencana alam, kematian orang-orang yang tercinta, ada kisah lain, tentang seorang ibu, yang membuang anaknya setelah diketahui bahwa bayinya lahir buta, cacat atau tidak punya anggota tubuh yang lengkap. Ada lagi, keluarga yang menyingkirkan seorang anggota keluarganya keluar jauh kampung/kota-masyarakat karena orang itu gila, sakit mental dan takut dianggap membawa aib bagi keluarga itu. Yang mau saya katakan dengan cerita-berita, pengalaman-pengalaman itu adalah bahwa kita seringkali berusaha untuk menutupi rasa malu, dan berusaha untuk menyembunyikan yang tidak biasa dan menyakitkan seolah-olah segala sesuatu adalah biasa. Kita berusaha untuk menyembunyikan semua yang tidak biasa, yang menyakitkan itu dan merasa tidak ada masalah serta berkata : “marilah bertindak seolah-olah tidak ada masalah, tidak ada yang aneh, tidak ada rasa sakit, tidak ada luka, tidak ada kegagalan, tidak ada penyakit. Dalam hidup saya sendiri, saya mengalami kekuatan yang mendorong untuk menyembunyikan ini, namun dorongan ini lebih sering merugikan daripada hal yang coba kita sembunyikan sendiri.
Rasa takut, malu dan rasa bersalah seringkali membuat kita tertutup pada diri sendiri dan menghalangi kita untuk berkomunikasi dengan jujur dunia sekitar kita dan menyadari bahwa rintangan-rintangan kita, apapun itu, seharusnya selalu dapat menjadi jalan menuju terbangunnya persekutuan yang bersahabat dan menyembuhkan. Di dalam persekutuan ini kita dapat saling mengenal sebagai pribadi yang rapuh, ringkih dan lemah dalam kemanusiaan kita, dan kita semua dapat saling meneguhkan dan menguatkan bahwa kita adalah pribadi yang agung dan mulia karena dicintai dan diberkati Tuhan. Setiap kita harus menyadari bahwa kita mempunyai kesamaan, yaitu bahwa kita adalah makluk yang rapuh, lemah dan dapat mati. Kegagalan fisik, emosional dan rohani adalah tanda-tanda dari keterbatasan itu.
Harapan baru terbentuknya komunitas yang membebaskan akan muncul , bilamana kalau kita dapat menggunakan tanda-tanda bahwa kita makluk yang lemah, cacat serta dapat mati untuk membangun persekutuan kita sebagai orang-orang lemah. Justru dalam pengakuan akan keterpecahan kita itulah kekuatan nyata kehidupan baru dan abadi dapat diteguhkan dan dibuat nyata.
Lebih dari itu, dalam kelemahan dan rasa sakit serta terluka itu, kita harus menyadari bahwa Allah yang kita imani adalah Allah yang mencintai dan memberkati kita. Dia adalah Allah yang selalu beserta kita, apapun keadaan dan situasi kita. IA datang kepada kita dalam pribadi Yesus Kristus karena IA ingin bergabung dengan kita dalam perjalanan hidup kita, mendengarkan kisah kita dan membantu kita menyadari bahwa kita tidak berjalan berputar-putar di tempat tetapi berjalan maju menuju rumah damai dan bahagia. Inilah rahasia agung Allah beserta kita yang terus menerus memberikan kekuatan dan penghiburan. Allah Sang Kasih yang memberikan hidup kepada kita, mengutus Putera tunggal-NYA untuk berada bersama kita sepanjang waktu dan di segala tempat, sehingga kita tidak pernah boleh merasa kalah dalam perjuangan kita tetapi selalu dapat percaya bahwa IA berjalan bersama kita.
Tantangannnya adalah apakah kita membiarkan Allah hadir seperti yang IA kehendaki. Sebagian dari diri kita terpenjara oleh kesepian kita, luka dan rasa sakit serta perasaan bersalah dan malu serta tidak membiarkan Allah menyentuh kita di tempat kita paling merasa sakit. Seringkali kita menyembunyikan dari padaNYA bagian-bagian dari diri kita di mana kita merasa malu, bersalah, bingung dan kalah. Kalau demikian kita tidak memberikan kesempatan kepada-NYA untuk menyertai kita di tempat kita merasa paling sendirian dan kita pun akhirnya merasa seolah berjalan sendiri, hidup sendiri dan kemudian menjadi tidak mampu membangun sebuah komunitas persekutuan hidup yang saling membebaskan dan menguatkan.
Allah mencintai dan memberkatimu semua.
Rm YusTL Pr
sumber: http://rohani.beranimaju.com/2011/02/renungan-ketika-kita-berusaha-untuk-menyembunyikan-rasa-malu-bersalah-menyakitkan/