Selasa, 10 Mei 2011

Selasa 10 Mei 2011: Yakin walau sendiri

Yakin Walau Sendiri (1 Raja-raja 18:21-39)


Pertarungan antara satu orang versus empat ratus lima puluh orang hendak digelar—untuk memenangkan hati sebuah bangsa. Sangat tidak imbang. Di atas kertas, yang satu orang tentu tak berdaya. Apalagi, bangsa yang diperebutkan sudah cenderung berpihak pada yang mayoritas.

Begitulah ketika Elia menantang 450 nabi Baal di gunung Karmel, untuk menunjukkan di hadapan bangsa Israel, siapa Tuhan. Apakah Baal, atau Allah Israel. Mereka sepakat mempersiapkan korban bakaran tanpa api, lalu masing-masing akan meminta api kepada kuasa yang mereka percayai sebagai Tuhan (ayat 23, 24). Sejak pagi, para nabi Baal mulai meminta api kepada allah mereka. Namun sampai petang, bahkan sampai mereka melukai diri “... tidak ada suara, tidak ada yang menjawab ...” (ayat 26).

Lalu ketika tiba giliran Elia, ia maju dengan keyakinan penuh. Walau sendirian, ia tahu Tuhannya hidup. Ia percaya Tuhannya adalah Tuhan yang benar. Ia tak ragu sedikit pun Tuhannya dahsyat. Itu sebabnya ia bahkan meminta orang menyiram potongan lembu korbannya dengan air—12 buyung penuh (ayat 34)! Dan, ia hanya perlu berdoa dengan lembut. Maka, Tuhannya yang hidup mendengar dan menjawab doanya dengan ajaib (ayat 38). Hingga seluruh Israel kembali sujud kepada Tuhan.

Keyakinan Elia kepada Tuhan tak digoyahkan oleh sedikitnya pendukung yang berpihak kepadanya. Tak dilemahkan oleh ancaman maupun tantangan yang menghadang. Keyakinan seperti ini dapat kita miliki juga bila jika mau terus bertumbuh dalam pengenalan yang benar akan Tuhan. Dengan terus setia mempelajari firman-Nya. Dan, dengan terus melibatkan Tuhan ketika menjalani hidup ini.

JANGAN BURU-BURU MERASA LEMAH ATAU KALAH

SEBAB KITA SELALU DAPAT MENGANDALKAN ALLAH


Penulis: Agustina Wijayani

Kamis, 05 Mei 2011

Kamis 5 mei 2011: bau kotoran ternak

Bau Kotoran Ternak (Amos 4:7-13)


Ada pengamatan menarik ketika saya dan istri berkunjung ke Pulau Lombok. Di salah satu desa, pada waktu-waktu tertentu, ada kebiasaan penduduk untuk melaburi lantai rumahnya yang dari tanah dengan kotoran ternak. Wah, pasti bau! Iya, tetapi itu bau yang sengaja diciptakan. Maksudnya agar mereka selalu ingat bahwa kehidupan mereka dibangun atas dasar kerja keras; yaitu beternak sebagai pekerjaan sehari-hari. Bau itu dimaksudkan sebagai penggugah kesadaran.

Amos adalah petani dan peternak dari dusun Tekoa (Amos 1:1). Nabi yang akrab dengan hewan dan tanah. Rupa, kondisi dan bau tanah dikenalnya dengan baik. Pesan kenabiannya kerap dikemas dalam bentuk seruan dan ajakan untuk mencermati gejala-gejala alam. Termasuk bencana alam (Amos 4:7,8), yang pada gilirannya menghadirkan hama dan penyakit, baik atas tanaman maupun manusia (ayat 9,10). Semua prahara alam yang membuat perkemahan tempat hunian orang Israel menjadi jorok dan berbau busuk, seharusnya menggugah kesadaran umat untuk “berbalik” atau bertobat. Sayang, Israel tak kunjung tergugah kesadarannya.

Kerinduan Tuhan untuk menyapa kita sungguh luar biasa. Selain melalui firman-Nya, segala jalan ditempuh-Nya untuk menggugah kesadaran kita akan kehadiran-Nya. Segala sarana dipakai-Nya untuk berbicara kepada kita. Bukan hanya melalui kejadian sehari-hari, melainkan juga melalui pancaindra kita. Apa yang kita lihat, dengar, rasa, raba, dan cium, dapat selalu menggugah kesadaran kita, betapa nikmat hadirat-Nya dan betapa benar hikmat-Nya. Sudahkah indra kita peka akan sapaan-Nya?

TUHAN MEMBERI KITA INDRA UNTUK MENYADARI KEHADIRAN-NYA

LATIHLAH SEMUANYA AGAR KITA SEMAKIN PEKA


Penulis: Pipi Agus Dhali

Rabu, 04 Mei 2011

Rabu 4 Mei 2011: Komunikasi

Komunikasi (Amsal 18:9-13)


“Bu, kurasa kita perlu mulai diet,” kata Pak Agung. Bu Agung mencebik [mencibir]. ”Ia menganggap aku semakin gemuk dan jelek,” pikirnya. Pada hari lain Bu Agung—dengan niat menghindarkan suaminya dari kena tilang—berkata, ”Mbok ya jangan ngebut kalau nyetir.” Pak Agung merengut, pikirnya, ”Huh, selalu saja ia menganggap aku ini ugal-ugalan.” Apabila pola komunikasi semacam itu dibiarkan berlarut-larut, Anda bisa membayangkan bagaimana kondisi rumah tangga Pak Agung.

Ketidakjelasan dan kesalahpahaman dalam berkomunikasi dapat menimbulkan luka emosional. Komunikasi yang seharusnya menjadi jembatan penghubung antarmanusia, justru berdiri tegak menjadi tembok pembatas. Firman Tuhan mendorong kita mengutamakan kejelasan dalam berkomunikasi, seperti disarankan Salomo dalam nas hari ini. Jangan buru-buru menanggapi suatu pesan sebelum kita menyimak dan memahami benar maksudnya. Tanggapan yang sembrono hanya menimbulkan masalah.

Apabila kita ragu-ragu atau tidak mengerti saat menerima pesan, jangan sungkan untuk meminta kejelasan. Metode ini disebut sebagai mendengarkan secara reflektif. Mendengarkan bukan sekadar berdiam diri ketika mitra kita berbicara, melainkan menyimak baik-baik untuk memahami maksudnya.

Untuk memastikan, ulangi apa yang diucapkan orang itu, dan berilah ia kesempatan untuk menjelaskan. Bu Agung, misalnya, bisa bertanya baik-baik, ”Bapak mengajak Ibu berdiet, ya?” Lalu, biarkan Pak Agung menjelaskan apa maksudnya, dan kemudian Bu Agung dapat menanggapi dengan semestinya. Komunikasi yang jelas pun terlaksana.

KOMUNIKASI YANG EFEKTIF BARU TERLAKSANA

KETIKA KITA MENANGGAPI DENGAN BENAR PESAN YANG DISAMPAIKAN


Penulis: Arie Saptaj

Selasa, 03 Mei 2011

Selasa 3 Mei 2011: Buah dan Proses

Buah dan Proses

(Yoh 15:1-8)

Bagi yang pernah menanam/membudidayakan pohon anggur, mungkin mengerti kalau pohon anggur dapat tumbuh, berdaun lebat, subur, dan merambat ke segala arah tapi tidak berbuah. Supaya dapat berbuah harus dipangkas terlebih dahulu, dipotong ranting-rantingnya. Tanaman anggur ini dipangkas dua kali (pada awal pertumbuhan dan pada masa pertumbuhan) --> baca: http://id.shvoong.com/exact-sciences/agronomy-agriculture/1925441-cara-menanam-anggur-yang-baik/

Lalu apa hubungannya?

Seperti kita ketahui, hidup tak terlepas dari masalah. Juga bukan berarti bahwa kita dekat dengan Tuhan akan bebas dari masalah. Justru Tuhan menghendaki kita "berbuah" dari adanya masalah, agar kita senantiasa belajar dan terus belajar untuk menjadi semakin baik. Masalah ibarat "pangkasan" pada diri kita agar kelak berbuah dengan baik. Tapi diharapkan kita selalu mau berjuang dan berserah pada Tuhan karena kita percaya bahwa Tuhan selalu memberikan yang terbaik bagi kita.

Mengapa harus berbuah?

"(8) Dalam hal inilah Bapa-Ku dipermuliakan, yaitu jika kamu berbuah banyak dan dengan demikian kamu adalah murid-murid-Ku."
Hendaknya seperti kutipan ayat di atas. Kita berbuah dan berhasil dan dalam keberhasilan itu, Allah dipermuliakan. Janganlah sombong dan menganggap kita hebat karena sesungguhnya tidak ada sesuatupun akan berhasil jika Tuhan tidak berkenan kepada kita. Jadikanlah keberhasilan kita sebagai contoh yang baik dan berkenan bagi Tuhan. Di sini keberhasilan tidak saja dalam hal materi/karir/pendidikan. Tetapi juga bagaimana kita berhasil menjadi orang yang dibenarkan Tuhan. Benar di sini bukan berarti suci, tetapi sebagai manusia yang tidak luput dari dosa, kita berusaha hidup sedekat mungkin dengan ajaran Tuhan.

Caranya?

'(4) Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu tidak tinggal di dalam Aku."

Tinggal di dalam Tuhan. Hanya itulah satu-satunya jalan. Keberhasilan dalam segala hal bergantung dari Tuhan. Nothing else matter. Ada pepatah, lebih susah memelihara daripada mencapai. Mungkin suatu saat kita sudah berhasil berbuah. Namun untuk memelihara diri agar selalu berbuah (bukan hanya sekali) itu lebih sulit. Godaan dan tantangan bukan berarti hilang saat kita berbuah, tetapi kita harus siap untuk tetap berbuah di tengah kehidupan dunia yang semakin keras. Pelihara dan lakukan firman Tuhan dalam hidup kita dan selalu berdoa, mendekat pada Tuhan agar Tuhan selalu memberi kita kekuatan. Semoga kita bisa tegar dan terus berbuah di tengah kehidupan dunia jaman sekarang.

In nomine Patris, et Filii, et Spiritus Sancti. Amin

- Christ & Sylvia

Senin, 02 Mei 2011

Senin 2 Mei 2011: Bublioburro

Biblioburro (Keluaran 33:7-11)


Bertahun-tahun ini Luis Soriano (38 tahun), seorang guru pria dari kota Magdalena, Kolombia, dengan setia menjalankan biblioburro—perpustakaan di atas keledai, ke daerah-daerah terpencil. Ia membawa ratusan buku di punggung dua keledainya, agar anak-anak di daerah pinggiran dapat belajar membaca, terbantu mengerjakan PR, dan mengenal dunia. Padahal untuk mencapai anak-anak itu, ia harus berjalan empat jam sekali jalan, dengan berbagai risiko. Hingga kini, sekitar 4.000 anak telah mendapat manfaat dari program biblioburro yang Soriano jalankan sejak 1990. Juga ratusan orangtua dan orang dewasa yang ikut belajar di situ.

Musa—juga adalah seorang guru bagi Yosua. Musa banyak mengajari Yosua, dengan mengikutsertakannya dalam pengalaman Musa. Termasuk ketika Musa bertemu dengan Allah di Kemah Pertemuan, Yosua pun ada di situ (ayat 11). Ya, sebagai pemimpin yang dihargai Allah dan disegani seluruh umat Israel (ayat 8,10), Musa sadar ia tidak dapat terus ada bersama-sama Israel. Sementara, pekerjaan Tuhan harus terus berlangsung. Itu sebabnya, membimbing Yosua adalah salah satu tugas pentingnya.

Inilah peran mulia guru. Mewariskan sebaik mungkin segala pengetahuan dan pengalamannya, demi keberlangsungan hidup masa depan yang lebih baik. Untuk itu, guru bahkan mesti berbagi hidup dengan murid-muridnya. Mereka berkorban, seperti Soriano. Mereka setia membimbing, seperti Musa. Mari hargai setiap orang yang berperan sebagai guru bagi kita, pada hari spesial pendidikan ini. Kiranya Tuhan memperbarui semangat dan kemampuan setiap guru—untuk memberi lebih!

GURU YANG BAIK TIDAK MENGUMPULKAN ILMU UNTUK DIRI SENDIRI

TETAPI MENERUSKANNYA AGAR KEHIDUPAN MASA DEPAN LEBIH BAIK


sumber: renunganharian.net - Agustina Wijayani

Minggu, 01 Mei 2011

Minggu 1 Mei 2011: Sabat untuk manusia

Sabat untuk Manusia (Markus 2:23-28)


Tuhan mencipta manusia segambar dengan-Nya. Maka, seperti Allah beristirahat setelah 6 hari mencipta, manusia juga butuh istirahat setelah 6 hari bekerja, untuk memulihkan kesegaran jasmani dan rohaninya. Namun orang Farisi mengartikan lain. Mereka komplain ketika murid Yesus memetik gandum pada hari Sabat. Para murid dianggap melanggar Sabat seperti ketentuan para Farisi, tetapi sesungguhnya tidak menurut Taurat.

Yesus tak pernah membatalkan Sabat. Justru Dia berupaya meletakkan fungsi Sabat yang sesuai maksud Allah. Yakni untuk menyejahterakan manusia, bukan membebaninya. Sabat mengingatkan manusia akan Allah Penciptanya, yang memberinya tanggung jawab mengelola ciptaan-Nya selama 6 hari. Agar pada hari ke-7 manusia dapat beristirahat, menikmati jerih lelahnya (Pengkhotbah 2:22,24), dan memulihkan kesegaran relasi dengan Allah dan sesama, sehingga seluruh hidupnya dipenuhi ucapan syukur. Bagi Israel, Sabat juga mengingatkan akan pembebasan Allah dari Mesir dan masuknya mereka ke Kanaan, negeri perjanjian (Ulangan 5:15).

Mengabaikan Sabat berarti mengabaikan Allah, Pencipta yang memelihara dan menyelamatkan manusia. Menikmati ciptaan tanpa memedulikan penciptanya membuat manusia mengilahkan materi dan dirinya sendiri. Inilah dosa terbesar. Kedatangan Kristus membebaskan manusia dari perbudakan dosa dan hukum buatannya sendiri, yang membelenggunya. Apakah Anda masih diperbudak pekerjaan demi mengejar materi dan pemuasan nafsu jasmani? Datanglah kepada Yesus Sang Pembebas. Belajarlah kepada-Nya agar Anda mampu menikmati hidup sebagaimana yang Allah mau.

TUHAN MENGADAKAN SABAT UNTUK DINIKMATI

BUKAN AGAR ANAK-ANAK-NYA TERBEBANI


sumber: renunganharian.net - Susanto, S.Th.

- Christ & Sylvia