Homili - Mgr FX. Hadisumarta O.Carm - MINGGU PRAPASKAH IV/A/2011, Sam 16:1b.6-7.10-13a Ef 5:8-14 Yoh 9:1-41
HOMILI
Dari cerita Injil yang panjang namun bagus ini kita mencoba mengambil beberapa butir maknanya. Cerita Injil Yohanes sungguh indah, tetapi isinya yang ingin disampaikan kepada lebih indah lagi! Ada beberapa hal yang patut kita perhatikan dalam hidup kita, baik secara pribadi maupun dalam hubungan kita dengan orang lain dan masyarakat. Injil hari ini menunjukkan adanya di dalam diri kita dan juga di antara kita semua sebagai komunitas atau masyarakat unsur-unsur ini: pertentangan (kontroversi), penderitaan (penyakit), dan kebutaan, lahir dan batin.
Pertama: pertentangan. Ada kenyataan bahwa seorang yang buta sejak lahirnya dapat disembuhkan. Tetapi justru penyembuhan ini menimbulkan masalah. Ketika ditanya, orang yang semula buta itu menjawab: Yesus telah membuat aku dapat melihat. Orang buta ini mengalami pergantian dari kegelapan kepada terang. Ia melihat Yesus sebagai sesama manusia, kemudian sebagai nabi dan akhirnya sebagai Putera Allah. Sebaliknya, kaum Farisi ketika melihat kenyataan penyembuhan itu, justru mulai ragu-ragu dan akhirnya tak mau mengakui bahwa Yesus datang dari Allah. – Orang-orang yang membanggakan diri sebagai orang beragama, justru membuat dirinya buta! Bukankah sekarang pun di negara-negara, yang memperkenalkan diri sebagai bangsa yang sungguh beragama ketat, terjadi aneka ragam kebutaan terhadap kemanusiaan warganya? – Inilah pertentangan antara kesederhanaan murni dan pengetahuan palsu; antara keyakinan keagamaan/rohani sejati dan fanatisme sebagai iman yang palsu. Si buta itu minim pengetahuannya ttg keagamaan, mungkin tidak rajin ke Bait Allah. Ia hanya tahu dan sadar, bahwa semula ia berada dalam kegelapan, tetapi sekarang dapat melihat keadaan dunia di mana ia hidup. Ia mengakui: “Satu hal yang kuketahui ialah bahwa aku semula buta, tetapi sekarang aku bisa melihat”. Orang ini bukan memulai kesembuhannya dengan suatu pengetahuan khusus agama, melainkan dengan pengakuan (kepercayaan): Yesus adalah seseorang yang memberinya hidup baru, menyelamatkan dan menyingkirkan kebutaan matanya, memberikan harapan dan keberanian! Maka ia berkata: “Aku percaya, Tuhan!”.
Kedua: penderitaan. Suatu penderitaan atau penyakit fisik, yang lama diderita dapat menimbulkan penderitaan psikis atau rohani yang lebih berat. “Mengapa aku harus menderita?”. “Mengapa Tuhan membiarkan adanya penderitaan?”. “Siapakah yang salah, bahwa aku ini buta, tulis, dungu, dan bukan seperti lainnya?”. “Apakah penderitaan ada maknanya?”. “Apa nilainya?”. “Siapa yang menyebabkannya?”. Maka kebutaan sering dipakai sebagai lambing ketidakmampuan kita untuk menangkap dan memahami penderitaan kita apapun bentuknya. Penderitaan itu dapat berkurang atau sebaliknya malahan bertambah dirasakan, apabila dikaitkan dengan keyakinan keagamaan/batin masing-masing.
Ketiga: kebutaan. Dewasa ini, telah sekian lamanya ada agama-agama yang mengajarkan hal-hal tentang keselamatan jiwa raga manusia. Diajarkan tentang Allah dan manusia, tentang hubungan antara manusia dan Allah serta sesama, tetapi ternyata pengertian dan penghayatan ajaran agama itu oleh pemeluk-pemeluknya berbeda-beda. Ada sikap orang pandai dan orang bodoh, orang besar dan orang kecil, orang sederhana dan orang angkuh atau arogan, orang saleh-jujur dan orang fanatik-palsu, - semua ini dapat diumpamakan sebagai kegelapan dan terang, atau sebagai kebutaan dan penglihatan gamblang. Perbedaan ini kenyataannya memperlihatkan sikap orang beriman atau orang beragama yang berlainan. Makin modern zaman kita, makin berbeda pula pandangan serta penghayatan hidup beragama!
sumber: FB Gereja Katolik