Jumat, 01 April 2011

Jumat 1 April 2011: Seandainya

Seandainya ( 1 Korintus 7:17-24)


Seandainya saya menikah—tentu saya tidak kesepian lagi. Seandainya gaji saya lebih besar—tentu kehidupan keluarga saya lebih harmonis. Seandainya saya tidak terjebak di kota kecil ini—tentu bisnis saya berjalan lebih lancar. Seandainya istri saya penuh pengertian—tentu saya bisa melayani Tuhan secara lebih leluasa. Seandainya. Seandainya. Seandainya.

Pernahkah pikiran semacam itu mengerumuni benak Anda? Lumayan sering, ya? Kita menginginkan kehidupan yang lebih baik, lebih bahagia. Dan, kita mengira, jalan untuk mencapainya ialah berubahnya keadaan atau orang di sekitar kita.

Jemaat di Korintus juga berpikiran demikian. Untuk menjadi orang kristiani yang lebih baik, orang yang tak bersunat perlu bersunat; seorang hamba perlu memerdekakan diri; yang melajang perlu menikah. Bagaimana tanggapan Paulus? Menurutnya, bagi orang yang telah dipanggil Allah, tidaklah penting keadaan lahiriahnya. Kalau bisa diubah menjadi lebih baik, mengapa tidak? Namun kalau tetap sama, tak perlu dipaksakan untuk berubah. Kalaupun malah menjadi lebih buruk—karena kita dianiaya, misalnya—itu pun tidak masalah.

Faktor yang paling menentukan ialah kehidupan baru yang dianugerahkan kepada kita: bahwa sekarang kita ”tinggal di hadapan Allah”, hidup bersama dengan Allah. Kebahagiaan hidup kita tidak lagi ditentukan oleh faktor lahiriah, melainkan oleh faktor batiniah: hubungan kita dengan Allah. Kita menjadi milik-Nya, dipanggil untuk mengasihi dan menaati-Nya. Dengan kesadaran ini kita dapat hidup tenang dan tenteram, bagaimanapun kondisi lahiriah kita, terbebas dari lingkaran setan ”seandainya”.

KEBAHAGIAAN HIDUP BUKAN DITEMUKAN SAAT KITA NYAMAN

MELAINKAN SAAT KITA MELAKUKAN MAUNYA TUHAN


sumber: renunganharian.net - Arie Saptaji

- Christ & Sylvia